PERJUANGAN SEORANG GEMBALA


Siapa yang tidak terkejut? jika seorang mahasiswa sekolah tinggi teologi, seorang anak hamba Tuhan, seorang yang aktif dalam pelayanan gereja, tiba-tiba berpindah kepercayaan? Sebagai orang tua yang adalah hamba Tuhan, sebagai seorang ketua sekolah tinggi, tentunya kami semua terkejut. Bukan hanya terkejut tetapi sungguh tidak percaya dengan kenyataan ini. Namun demikianlah kenyataan yang ada. Surat bukti pindah agama sudah jelas diperlihatkan, foto-foto sudah terpampang di media sosial, pengakuan yang bersangkutan sudah disampaikan secara langsung dan terbuka, semuanya sudah pasti dan tidak ada bantahan dari pihak manapun.  Kami hanya bisa menerima kenyataan. Saya sendiri coba berpikir, apa penyebab semua ini? Mengapa seseorang bisa berubah seratus delapan puluh derajad tanpa tanda-tanda sama sekali. Dan pertanyaan ini sulit dijawab.

Pekan lalu saya pergi ke Manado dan salah satu agenda kegiatan saya adalah bertemu dengan mantan mahasiswi yang telah berpindah kepercayaan tersebut. Beberapa minggu sebelumnya, ayah mahasiswi ini telah menelepon saya memberitahukan perkembangan anaknya. Saya diminta untuk memberikan solusi, namun saya sungguh binggung harus memberi nasihat apa. Kami akhirnya berjanji untuk bertemu jika saya datang ke Manado. Pertemuan itu pun akhirnya terwujud. Saya bertandang ke rumahnya, disambut dengan ramah dan akhirnya ia menyampaikan kisahnya yang sungguh penuh dengan perjuangan iman.

“Saya bersyukur….” Itulah pernyataan pertama yang diucapkan oleh hamba Tuhan ini. “Kisahnya sangat panjang, anak saya kini dalam pemulihan. Untuk sampai pada tahap ini perjuangannya sangat panjang. Bermula dari reuni anak saya dengan teman-temannya, lalu terjadi perubahan yang sangat menakutkan. Anak saya tiba-tiba tidak kembali ke rumah. Setelah menghilang, lima hari kemudian kami menemukanya dan mengembalikannya ke rumah. Namun malam itu ia melarikan diri setelah mengancam ibunya, bahwa jika dia tidak dibiarkan pergi ia akan bunuh diri.” Ia nampak menerewang mengingat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Ia lalu melanjutkan. “Beberapa hari kemudian saya menerima sepucuk surat nikah dan surat pernyataan yang menyatakan bahwa anak saya telah menikah dan telah berpindah agama. Saya melihat alamat yang tertera di surat itu dan dengan diam-diam saya terus melacaknya. Saya mengeluarkan banyak uang, meminta tolong banyak orang. Ternyata anak saya telah keluar dari Sulawesi Tengah dan berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini adalah agar keberadaannya tidak terlacak. Namun saya tetap berdoa, meminta tolong banyak rekan hamba Tuhan. Sampai suatu hari saya akhirnya menemukan kepastian di mana anak saya berada. Dengan meminta bantuan empat polisi buser dan beberapa orang penting di daerah itu, kami akhirnya dapat bertemu dengan anak kami. Saya akhirnya membawa anak kami ke Gorontalo selama dua minggu tinggal di sana. Kondisi tidak aman, saya harus menyewa dua orang penjaga untuk menjaga rumah kami siang malam. Saya akhirnya memutuskan untuk pindah ke Manado.” Hamba Tuhan ini bercerita dengan penuh kesungguhan. Hampir semua detail dari perjuangan imannya ia ceritakan.

Ia lalu menceritakan bagian penting lain yang sungguh sangat menakutkan. “Ketika anak kami sudah di Manado, saya meminta tolong satu tim doa. Pelayanan tim doa ini biasanya untuk mendoakan orang-orang yang kerasukan setan. Sebenarnya, saya sudah biasa mengusir setan dari banyak orang yang saya layani. Namun untuk roh-roh jahat yang ada dalam diri anak saya, saya harus meminta tolong orang lain.  Tim doa ini datang dan mulai berbicara dengan anak saya. Namun anak saya menolak untuk berbicara dengan mereka. Sambil berteriak dengan nada sinis ia mengatakan bahwa ia telah berpindah agama.Tim doa terus berdoa dan akhirnya sesudah empat jem berdoa, sesuatu terjadi, sesuatu yang mengerikan dan sulit dipercaya. Dari tubuh anak kami keluar banyak pasir putih, bukan hanya pasir tetapi juga rambut-rambut. Sangat banyak pasir dan sangat banyak rambut. Lalu terjadi perubahan yang drastis, anak saya menyerahkan semua buku, semua peralatan, semua benda yang selama ini mati-matian dipertahankannya. Ia pun terduduk lemas. Malam itu terjadi perubahan yang luar biasa, kesadaran anak saya kembali. Ia selama ini menjauhi kami, papa dan mamanya. Namun malam itu ia kembali kepada kami.”  Saya tercengang mendengar kisah imannya itu.

Bapak pendeta kemudian memperlihatkan sebuah foto dari telepon selularnya. “Ini foto batu-batu yang keluar dari tubuh anak saya setelah didoakan pada hari kedua oleh tim doa. Batu-batu itu keluar bersama sejumlah rambut. Tubuh anak saya tidak kesakitan sama sekali.” Saya memperhatikan foto itu dengan perasaan tidak percaya. Namun bapak pendeta dan istrinya menyampaikan bahwa inilah kenyataan yang telah mereka alami. Kuasa kegelapan dapat dikalahkan.


Kami mengakhiri pembicaraan siang itu dengan doa. Dalam hati saya, saya berpikir, betapa luar biasanya bapak ini telah berjuang. Ia telah memberikan seluruh waktunya, ia mengeluarkan banyak uang, menghabiskan banyak tenaga, meninggalkan pelayanannya untuk sementara waktu, meninggalkan anak-anaknya yang lain di Palu, demi putri sulungnya yang meninggalkan imannya. Dalam salah satu bagian pembicaraannya ia katakan: “Saya ini seperti seorang gembala yang meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor domba, dan mencari seekor domba yang terhilang. Dan domba yang terhilang itu adalah putri saya sendiri.” 

Mayor Janneman R. Usmany, M.Th.

No comments:

Post a Comment